Kamis, 22 Oktober 2015

pengertian asbabun wurud

BAB I PENDAHULUAN  Latar belakang lahirnya hadits. Karna pengetahuan tentang hal itu dapat menolong memahami hadits secara sempurna, sebagai mana halnya pengetahuan tentang as babun nuzul, dapat menolong untuk memahami makna ayat-ayat Al-Qur’An. Ibnu taimiyah berkata “ mengetahui sebab itu, menolong dalam hal memahami al hadits dan ayat. Karna mengetahui sebab dapat mengetahui musabab (akibat) nya. Memahami hadis tidak cukup hanya berbekal bahasa Arab, tetapi dibutuhkan seperangkat ilmu, seperti Ma`ani al-hadis, Naskh, Asbab wurud, kaidah-kaidah ushul fiqh, dll. Karna tanpa ilmu-ilmu itu memahami sebuah hadits tidak akan pernah bias. Dan tanpa ilmu kidah sulit untuk kita memahami maksut yang terkandang dalm hadits. Maka dari itulah ilmu asbabul wurud dan ilmu kaidah-kaidah supaya mudah memahami maksut-maksut dari hadits yang di kaji atau yang di teliti dan juga dengan ilmu-ilmu yang mendukung untuk memahami hadits yang di teliti.  Rumusan masalah 1. Ilmu asbabul wurud 2. Ilmu kaidah-kaidah  Tujuan • Memberikan pemahaman akan keilmuan-keilmuan yang di gunakan meneliti hadits • Agar menjadi bekal untuk mengkaji hadits • Menambah wawasan BAB II PEMBAHASAN A. Ilmu asbab wurud  Pengertian asbab wurud Kata Asbab adalah jama’ dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl “ (tali), saluran, yang artinya dijelaskan sebagai:” segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya”. Menurut istilah adalah: كُلُّ شَيْءٍ يَتَوَصَّلُ بِهِ إِلَى غَا يَتِهِ “Seagala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan Ada juga yang mendefenisikan dengan:”Suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”. Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai, muncul,dan mengalir, seperti: أَلْمَاءُ أَلَّذِيْ يُوْرِدُ “Air yang memancar, atau air yang mengalir” Dalam pengertian yang lebih luas, Al-Suyuthi merumuskan pengertian asbab wurud al-hadis dengan: Sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, dinasakhkan dan seterusnya” atau, “suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya”. Dari uraian pengertian tersebut, asbab wurud al-hadis dapat diberi pengertian yakni “suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi SAW. Menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.” Seperti sabda rasul SAW. Tentang kesucian air laut dan apa yang ada didalamnya. Ia bersabda:”laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadis ini dituturkan oleh Rasul SAW. Saat berada ditengah lautan dan ada salah seorang sahabat yang merasa kesulitan berwudhu karna tidak mendapatkan air (tawar). Contoh lain adalah hadis tentang niat, hadis ini dituturkan berkena’an dengan peristiwa hijrahnya Rasul SAW. Kemadinah. Salah seorang yang ikut hijrah karena didorong ingin mengawini wanita yang bernama Ummu Qais. Urgensi asbab wurud terhadap hadis .sebagai salah satu jalan untuk memahami kandungan hadis, sama halnya dengan urgensi asbab nujul Al-quran terhadap al-Quran, ini terlihat dari beberapa faedahnya ,antara lain, dapat mentakhsis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukan illat suatu hukum. Maka dengan memahami asbab wurud hadis ini, dapat dengan mudah memahami apa yang dimaksud atau yang dikandung oleh suatu hadis. Namun demikian, tidak semua hadis mempunyai asbab wurud, seperti halnya tidak semua ayat al-Quran memiliki asbab nujulnya.  Ta’rif dan faidah Ilmu Asbabi wurud Al-hadis Yang dimaksud dengan Ilmu Asbabi wurud Al-hadis atau Asbab Al-atsar, ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadis. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah dikeluarkan hadis itu sudah tercakup dalam pembahasan ilmu tarikh, karena itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Akan tetapi karena ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang tidak seluruhnya tidak tercakup dalam ilmu tarikh dan mempunyai faidah yang besar sekali dalam lapangan ilmu hadis. Maka kebanyakan muhadditsin menjadikan ilmu itu suatu ilmu pengetahuan tersendiri, sebagai cabang ilmu hadis dari jurusan matan. Faidah-faidah mengetahui Asbab Wurud Al-hadis itu antara lain ialah : 1) Untuk menolong, memahami dan menafsirkan al-hadis. Sebab sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya sesuatu itu merupakan saran untuk mengetahui musabbab (akibat) yang ditimbulkannya. Seseorang tidak mungkin mengetahui penafsiran suatu hadis secara tepat, tanpa mengetahui sebab-sebab dan keterangan-keterangan tentang latar belakang: nabi bersabda, berbuat atau mengakui perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan beliau. Ia merupakan suatu sarana yang kuat untuk memahami dan menafsirkan al-hadis. 2) Sebagaimana diketahui bahwa lafadz nash itu kadang-kadang dilukis dalam kata-kata yang bersifat umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya memerlukan dalil yang mentakhshikannya. Akan tetapi dengan diketahui sebab-sebab lahirnya nash itu, maka takhshih yang menggunakan selain sebab harus disingkirkan. Sebab menyingkirkan takhshih yang berbentuk sebab ini adalah qath’iy ,sedang mengeluarkan takhshis sebab adalah terlarang secara ijma’. 3) Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syari’at(hukum). 4) Untuk mentakhshishkan hukum bagi orang yang berpedoman qaidah Ushul-fiqh “Al-ibratu bikhusuhshi’s-sabab”(mengambil suatu ibarat itu hendaknya dari sebab-sebab yang khusus).biarpun dari pendapat yang kuat dari golongan Ushuliyun berpedoman dengan “Al-ibratu bi’umumu’i-lafadh,la bikhushusi’s-sabab”(mengambil suatu ibarat itu hendaknya berdasar pada lafad yang umum, bukan sebab-sebab yang khusus).  LATAR BELAKANG PENTINGNYA ILMU ASBABUL WURUDIL HADIST Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam studi hadis, asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti tekstual saja dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru. Ketika kita mencoba memahami suatu Hadis, tidak cukup hanya melihat teks Hadisnya saja, khususnya ketika Hadis itu mempunyai asbabul wurud, melainkan kita harus melihat konteksnya. Dengan lain ungkapan, ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu Hadis, perlu memperhatikan konteks historitasnya, kepada siapa Hadis itu disampaikan Nabi, dalam kondisi sosio-kultural yang bagaimana Nabi waktu itu menyampaikannya. Tanpa memperhatikan konteks historisitasnya (baca: asbabul wurud) seseorang akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami makna suatu Hadis, bahkan ia dapat terperosok ke dalam pemahaman yang keliru. Itulah mengapaasbabul wurud menjadi sangat penting dalam diskursus ilmu Hadis, seperti pentingnyaasbabun nuzul dalam kajian tafsir al-Qur’an. Dalam kaitannya dengan Asbâb al-Nuzûl/Asbâb al-Wurûd sebagaian kecil ulama mengemukakan kaedah yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab khususnya, bukan keumuman teksnya). Setiap Asbâb al-Nuzûl/Asbâb al-Wurûd mencakup 3 (tiga) hal pokok, yaitu : (a) peristiwa, (b) pelaku dan (c) waktu dan tempat. Tidak mungkin kita akan mampu menggambarkan adanya sesuatu peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu tertentu di tempat tertentu dan tanpa memahami siapa pelakunya.  IMPLIKASI ATAU FUNGSI ASBABUL WURUDIL HADIS Dari pengertian asbab al-wurud di atas maka dapat dilihat ada beberapa fungsi dariasbab al-wurud ini, yaitu: 1.Menentukan adanya takhshishhadits yang bersifat umum. Contoh dari fungsi asbab al-wurudsebagai takhsis terhadap sesuatu yang masih bersifat umum dan juga menjelaskan ‘illah(sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum, misalnya hadits: صلاة القاعد على النصف من صلاة القائم Artinya: Shalat orang yang sambil duduk pahalanya setengah dari orang yang shalat sambil berdiri. Asbab al-wurud dari hadits di atas adalah ketika penduduk Mandinah sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Kebanyakan para sahabat melakukan shalat sunnah sambil duduk. Ketika itu Rasulullah datang menjenguk dan mengetahui bahwa para sahabat suka melakukan shalat sunnah sambil duduk walaupun dalam keadaan sehat. Kemudian Rasulullah bersabda sebagaimana hadits di atas. Mendengarkan sabda Rasulullah para sahabat yang tidak sakit kemudian shalat sunnah dalam berdiri. Dari asbab al-wurud tersebut maka dapat dipahami bahwa kata “shalat” (yang masih bersifat umum pada hadist tersebut) adalah sahalat sunnah (khusus). Dan dari penjelasan tersebut dapat dipahami pula bahwa boleh melakukan shalat sunnah dalam keadaan duduk namun hanya akan mendapatkan pahala setengah apabila dalam keadaan sehat. Tetapi apabila dalam keadaan sakit dan melakukan shalat dalam keadaan duduk maka akan mendapatkan pahala penuh. Hal ini merupakan penjelasan dari sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum shalat sunnah sambil sambil duduk. Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan shalat sambil berdiri -mungkin karena sakit-, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut. Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separoh, sebab ia termasuk golongan orang yang memang boleh melakukan rukhshah atau keringanan syari’at. 2. Membatasi pengertian hadits yang masih mutlaq. Contoh dari asbab al-wurud yang berfungsi sebagai pembatasan terhadap pengertian mutlaq sebagaimana hadits berikut: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سن فى الاسلام سنة حسنة فعمل بها بعده كتب له مثل اجر من عمل بها ولا ينقص من اجورهم شيء من سن فى الاسلام سنة سيئة فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من ازوارهم شيء Artinya: Rasulullah bersabda: barang siapa melakukan suatu sunnah hasanah (tradisi atau prilaku yang baik) dalam Islam, lalu sunnah itu diamalkan oleh orang-orang sesudahnya, maka ia akan mendapatkan pahalanya seperti pahala yang mereka lakukan, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang melakukan suatu sunnah sayyi’ah (tradisi atau perilaku yang buruk) lalu diikuti orang-orang sesudahnya, maka ia akan ikut mendapatkan dosa mereka, tanpa mengurangi sedikit pun dosa yang mereka peroleh. Asbab al-wurud hadits tersebut adalah ketika Rasulullah bersama-sama sahabat, tiba-tiba datanglah sekelompok orang yang kelihatan sangat susah dan kumuh. Ternyata mereka adalah orang-orang miskin, meliahat hal demikian Rasulullah merasa iba kepada mereka. Setelah shalat berjama’ah Rasulullah berpidato yang menganjurkan untuk berinfak. Mendengar hal tersebut seorang sahabat keluar dan membawa sekantong makanan untuk orang-orang miskin tersebut. Melihat hal tersebut maka Rasulullah bersabda sebagaimana hadits di atas. Melihat asbab al-wurud di atas, kata sunnah yang masih bersifat mutlak (belum dijelaskan oleh pengertian tertentu) dapat disimpulkan adalah sunnah yang baik, dalam hal ini adalah bersedekah. 3. Men-tafshil (merinci) hadits yang masih bersifat globab (umum). . Contoh adalah Hadits yang berbunyi: إن لله تعالى ملائكة في الأرض ينطق على ألسنة بني أدم بما في المرء من خير أو شر “Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan keburukan seseorang.” (HR. Hakim) Dalam memahami Hadits tersebut, ternyata para sahabat merasa kesulitan, maka mereka bertanya: Ya Rasul !, Bagaimana hal itu dapat terjadi? Maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Suatu ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut, seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar pujian tersebut, maka Nabi berkata: “wajabat”(pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: “Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: “wajabat”. (pasti masuk neraka). Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul !, mengapa terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: “wajabat”sampai tiga kali. Nabi menjawab: ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi) Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan jenzah itu jahat. 4.Menentukan ada atau tidaknyanasikh-mansukh dalam suatu hadits. Contoh asbab al-wurud yang berfungsi untuk menentukan adanya suatu nasikh – mansukh sebagaimana hadits berikut: Hadits pertama: افطر الحاجم و المحجوم Artinya:Batal puasa bagi orang yang membekam dan yang dibekam Hadits kedua: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يفطر من قاء ولا من احتلم ولا من احتجم Artinya Rasulullah bersabda: Tidak batal puasa orang yang muntah, orang yang bermimpi kemudian keluar sperma dan orang yang berbekam. Kedua hadits tersebut tampak saling bertentangan, yang pertama menyatakan bahwa orang yang membekam dan dibekam sama-sama batal puasanya. Sedangkan hadits kedua menyatakan sebaliknya. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hazm, hadits pertama sudah di-nasikh (dihapus) dengan hadits kedua. Karena hadits pertama lebih awal datangnya dari hadits kedua. 5.Menjelaskan ‘illah (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hokum Contoh hadis tentang khomr yang awalnya boleh untuk di minum, kemudian datang lagi hadis yang menjelaskan bahwa minum khomer tidak dianjurkan. Setelah itu datang lagi hadis yang menjelaskan bahwa minum khomer itu haram. Asbabul wurud nya karena ada seorang imam yang mabuk saat berjamaah, sehingga menyebabkan semua bacaannya salah dan sholatnya jadi tidak sah. 6. Menjelaskan maksud suatu hadist yang masih musykil. (sulit dipahami atau janggal). Contoh asbab al-wurud yang menjelaskan maksud hadits yang masihmusykil (sulit dipahami atau janggal) adalah sebagaimana hadits berikut: من تشبه قوما فهو منهم Artinya: Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka termasuk golongan mereka. Asbab al-wurud dari hadits ini adalah ketika dalam peperangan umat Islam dengan kaum kafir, Rasulullah kesulitan membedakan mereka mana yang teman dan mana yang lawan. Kemudian Rasulullah menginstruksikan kepada pasukan umat Islam agar memakai kode tertentu agar berbeda dengan musuh. Dan yang masih menggunakan kode seperti musuh akan kena panah kaum pasukan Islam.  Macam-macam Asbabul Wurud Peristiwa yang melatarbelakangi munculnya hadits ada 2. Yaitu: 1. Asbab Wurud Al-khas, yaitu peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu hadits. 2. Asbab Wurud Al’Am, yaitu semua peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannnya oleh hadis, baik peristiwa itu terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu. Pengertian yang kedua ini dapat diperluas sehingga mencangkup kondisi social pada msa turunnya hadis (setting social). Adapaun patokan kaidah yang dipakai oleh para mayoritas ulama dalam asbab wurud adalah ; 1. Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah keumuman lafad, bukan sebab khususnya). 2. Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi (yang menjadi patokan dalam memahami teks adalah sebab khusus, bukan keumuman lafad. Adapun contoh dari kaidah pertama yaitu Hadis tentang mandi jum’at yang berbunyi: حَدَثَنَا عَبْدُ اْللَّه بْنِ يُوْسُفْ قَالَ : أَخْبَرَنَا مَالِكُ, عَنْ نَافِعِ عَنْ عَبْدِ اْللَّهِ بْنِ عُمَرْ رَضِيَ اْللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اْللَّهِ صَلَّي اْللَّهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ اَلجُمْعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ. (روه البخاري) Sesungguhnya rasulallah SAW bersabda : “jika seseorang diantara kamu mendatangi shalat jum’at, maka hendaklah ia mandi” (H.R. Bukhari) Dalam memahami hadis diatas maka kita lihat dulu asbabul wurudnya. Pada jaman nabi SAW, ekonomi para sahabat pada umumnya masih dalam keada’an sulit. Mereka memakai baju wol dan bekerja diperkebunan kurma, memikul air diatas punggung mereka untuk melakukan penyiraman. Setelah bekerja diperkebunan, banyak diantara mereka yang langsung pergi ke masjid untuk melakukan shalat jum’at. Pada hari itu udara sangat panas dan nabi menyempatkan khutbah jum’at diatas mimbar yang pendek, kemudian mereka berkeringat dalam keadaan pakai pakaian wol. Bau keringat dan baju wol mereka menyebar diruangan masjid dan jama’ah merasa terganggu. Bahkan bau mereka juga sampai menyebar kemimbar rasulallah SAW, dan kemudian nabi bersabda : “Wahai kalian manusia, jika kalian melaksanakan shalat jum’at ,hendaklah mandi terlebih dahulu dan pakai minyak wangi terbaik yang ada padanya” Jumhurul ulama mengatakan bahwa kewajiban mandi pada hari jum’at disebabkan oleh banyak factor, antara lain cuaca panas byang menyebabkan berkerinngat, pakaian wol yang menyimpan bau, kondisi masjid yang sempit dan lain2. Jika jama’ah tidak mandi maka akan menimbulkan gangguan dan mengurangi ketenangan didalam masjid. Hadis itu berlaku dan wajib dilaksanakan dalam kondisi demikian. Ketika keadaan umat islam sudah makmur, masjid-masjid sudah luas dan pakaian mereka terbuat dari kain, maka ada kelonggaran dan kemurahan untuk tidak mandi ketika hendak pergi keshalat jum’at. Sebab hal itu tidak akan menimbulkan adanya gangguan pada jama’ah. Jika diamati ,maka kelihatan jelas pendapat jumhurul ulama diatas dalam memahami hadis dengan kaidah : Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafdzi la bi khusus al-sababi hadis nabi SAW yang menyatakan “siapa saja yang mendatangi shalat jum’at supaya mandi terlebih dahulu” lahir karena adanya sebab khusus, yaitu adanya jama’ah yang kehadirannya menimbulkan gangguan berupa bau tidak sedap yang diitimbulkannya dalam ruangan masjid yang sangat sempit, dengan menerapkan kaidah diatas maka hadis itu berlaku pada siapa saja yang kondisinya sama dengan pelaku peristiwa yang menyebabkan munculnya hadis tersebut. Isi hadis tersebut tidak mengikat pada kepada mereka yang kondisinya berbeda dengan pelaku peristiwa dan dalam suasana yang berbeda pula, hanya saja kalau perintah hadis itu dilaksanakan, maka hukumnya lebih baik bagi yang melakukan. Jika hadis itu dilepaskan dalam kontek asbabul wurudnya, maka disimpulkan bahwa hukum mandi pada hari jum’at adalah wajib sebagaimana pendapat daud al-dhahiri. Pendapat semacam ini semata-mata memahami hadis secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks yang menyertainya. Contoh kaidah yang kedua yaitu Al-‘Ibrah bi khusus al-sababi la bi ‘umum al-lafdzi ,berdasar4kan hadis diatas pula maka kita harus melihat pada sebab-sebab yang mengikutinya sebagaimana telah disebutkan. Jadi, jika menggunakan kaidah ini kewajiban mandi jum’at diatas hanya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kondisi latar belakang yang sama.  Cara-cara Mengetahui Sebab-sebab Lahirnya Hadits Di antara maudlu’ pokok dalam ilmu asbabi Wurudi’l-Hadis ialah pembicaraan tentang cara-cara untuk mengetahui sebab-sebab lahirnya hadis. Cara-caranya yaitu hanya dengan jalan riwayat saja. Karena tidak ada jalan bagi logika, menurut penelitian Al-Bulqiny, bahwa sebab-sebab lahirnya hadis itu ada yang sudah tercantum didalam hadis itu sendiri dan adapula yang tidak tercantum didalam hadis itu sendiri, tetapi tercantum dihadis lain. Sebagai contoh asbabu wurudi’l-hadis yang tercantum didalam hadis itu sendiri, seperti hadis abu dawud yang tercantum dalam kitab sunannya, yang diriwayatkan oleh abu Sa’id al-Khudry, kata Abu Sa’ib : إِنَّهُ قِيْلَ لِرَسُوْلِ اْللَهِ صَلَّي اْللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوَضَّاءُ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ, وَهِيَ بِئْرٌ يُطْرَحُ فِيْهِ الْخَيْضُ , وَلَحْمُ الْكَلْبِ وَاْلنَّتْنِ فَقَالَ : أَلْمَاءُ طَهُوْرٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ “bahwa beliau pernah ditanyakan oleh seseorang tentang perbuatan yang dilakukan oleh rasulullah SAW :”apakah tuan mengambil air wudhu’ dari sumur Budla’ah, yakni sumur yang dituangi darah, daging anjing dan barang-barang busuk ? jawab rasulullah SAW :”air itu suci, tak ada sesuatu yang menjadikannya najis”. Sebab Rasulullah SAW bersabda, bahwa setiap air itu suci, lantaran ada pertanyaan dari sahabat, tentang hukum air yang bercampur dengan darah, bangkai dan barang yang busuk, yang persoalan itu dilukiskan dalam rangkaian hadis itu sendiri. Contoh asbabu’l-wurud yang tidak tercantum dalam rangkaian hadis itu sendiri, tetapi diketahuinya dari hadis yang terdapat dilain tempat yang sanadnya juga berlainan, seperti hadis Muttafaq-‘alaih tentang niyat dan hijrah, yang diriewayatkan oleh ibnu Umar r.a : وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِاْمْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَي مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ . “.... Barang siapa yang hijrahnya karena untuk mendapatkan keduniaan atau perempuan yang bakal dikawininya, maka hijrahnya itu hanya kepada apa yang dihijrahkannya saja”. Asbabu’l-Wurud dari hadis diatas , kita temukan pada hadis yang ditakhrijkan oleh At-thabarany yang bersanad tsiqah dari Ibnu Mas’ud r.a, ujarnya : كَانَ بَيْنَنَا رَجُلٌ خَطَبَ إِمْرَةً يُقَالُ لَهَا ( أُ مُ قَيْسٍ ) , فَأ بَتْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا حَتَّي يُهَاجِرَ , فَهَاجَرَفَتَزَوَّجَهَا . كُنَّا نُسَمِّيْهِ ( مُهَاجِرأمّ قَيْسٍ ). “Konon pada jama’ah kami terdapat seorang laki-laki yang melamar kepada seorang perempuan yang bernama ummu Qais, tetapi perempuan itu menolak untuk dikawininya, kalau laki-laki pelamar tersebut enggan berhijrah ke madinah. Maka ia lalu hijrah dan kemudian mengawininya. Kami namai laki-laki itu , Muhajir Ummu Qais”.  CONTOH ASBABUL WURUDIL HADIS 1. Contoh: tentang Syafa’at أتاني أتٍ من عند ربيّ فخَيَّرَنيِ بيْنَ أن يُدْخِلَ نصف ّأمتي الجنة و بين الشفاعة) Artinya: telah datang kepadaku Malaikat dari Tuhanku azza wazalla yang menyuruh aku memilih diantara separuh umatku masuk surga atau syafa’at. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Musa Al-‘As’ari menurut penilaian Al-Haitsami, orang orang yang meriwayatkan hadits ini adalah tsiqat (dapat dipercaya) asbabul wurud dijelaskan dalam musnad imam ahmad bersumber dari abu Musa Al-‘As’ari : kami telah bertempur melawan musuh bersama Nabi SAW kemudian kami bersama beliau turun untuk istirahat. Pada suatu malam aku terbangun, namun beliau tidak ada . aku mencari tetapi yang muncul adalah seorang sahabat yang juga mencari beliau . untunglah tiba-tiba Nabi datang menuju kami seraya bersabda; Engkau berada di daerah perang, maka jika engkau akan pergi karena karena suatu keperluan, katakanlah kepada yang lainnya sehingga ia menemanimu. Kemudian Rasulullah bercerita : aku telah mendengar suara seperti gemuruhnya suara lebah dan datanglah seorang malaikat yang menyuruh aku dst. Keterangan yang datang kepada nabi adalah malaikat pembawa kabar gembira yang menerangkan bahwa nabi boleh memilih diantara dua yang beliau sukai yakni separuh umatnya masuk surga atau hak syafaat. Beliau memilih syafaat sehingga seluruh umat beliau akan masuk surga asalkan tidak berbuat syirik 2.contoh Tentang Konsentrasi إذا كتبت فَضعْ قلمك على اذُنِكَ فإنّه أَذْكر لك Artinya jika engkau menulis letakkan penamu diatas kupinglu sebab dengan demikian engkau lebih ingat. Diriwayatkan oleh al khatib dalam tarikhnya dari anas bin malik sababul wurudnya adalah kata anas, muawiyah salah satu seorang penulis wahyu jika ia lengah atau lupa mencatat wahyu yang diterimanya dari nabi ia meletakkan penanya kedalam mulutnya. Maka bersabdalah rasulullah: jika engkau menulis, letakkan penamu di telingamu Keterangan hadits ini mengisyaratkan perlunya persiapan dan pemusatan pikiran di saat menulis dan mempelajari ilmu. 3. contoh tentang Menziarahi kubur إني نهيتكم عن زيارة القبور فزورها وَلْتزِدكم زيارتُها أجرا “Sesungguhnya aku pernah melarang kamu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah dan tambahilah pahala kamu dengan menziarahinya”. Diriwayatkan oleh Thahawi dalam al-atsar dari buraidah r.a dan dari sa’id berbunyi: arabny (aku larang kamu menziarahi kubur maka sekarang ziarahilah karena sesunggunya dalam menziarahi kubur itu terdapat pelajaran asbabul wurud Kata Burairah: kami bersaama rosul dalam suatu perjalanan. Kami singgah, sedangkan jumlah kami semuanya hampir 1.000 orang. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat bersama kami. Kemudian beliau menghadapkan mukanya kepada kami. Air maya beliau mengalir membasahi pipi. Umar pun berdiri dan bersedia menggantikannya (segala apayang dihadapi nabi dengan dirinya. Umar bertanya: apa yang engkau rasakan wahai rasul: beliau menerangkan : sesungguhnya ku mohon izin kepada allah untuk mendo’akan keampunan kepada ibuku (istighfar) , tetapi Tuhan tidak mengizinkanku. Maka mengalirlah air mataku sebagai tanda kasih sayang kepadanya yang melepaskannya) dari api neraka. Sesungguhnya aku pernah melarang kamu….dst.  Perintis ilmu ini dan Kitab-kitabnya Perintis ilmu Asbabi Wurudi’l-hadis ialah Abu Hamid bin Kaznah Al-jubary *). Kemudian disusul oleh Abu Hafs ‘Umar bin Muhammad bin Raja’i Al-Ukbury (380-458 H). Ia adalah salah seorang guru Abu Yahya Muhammad bin Al-husain Al-Farra’ Al-hambaly dan salah seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Al-Muhaddits As-Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaludin yang terkenal dengan kunyah Ibnu Hamzah Al-Husainy (1045-1120) mengarang pula kitab asbabi-wurud-hadits dengan diberi nama “Al-bayan wat Ta’rif fi Asbabi wurudil-hadisisy-syarif. Kitab yang disusun secara Alfabetis ini dicetak pada tahun 1329 H. diHalab dalam 2 juz besar-besar B. Kaidah-kaidah ilmu hadits Memahami hadits-hadits kaidah sangat membantu kita untuk mendalami tujuan syari’at yang mulia dan agung ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberikan oleh Allah Jawami’ kalim artinya kata-kata yang ringkas namun mempunyai makna yang amat luas yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam kehidupan kita. Banyak kaidah-kaidah fiqih yang ditetapkan berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diantara hadits-hadits yang dijadikan sebagai kaidah adalah hadits yang masyhur: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ”Dari Amirul mukminin Umar bin Al Khoththob radliyallahu ‘anhu ia berkata, Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:” Sesungguhnya amal itu dengan niat, dan sesungguhnya seseorang mendapatkan apa yang ia niatkan, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan RosulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RosulNya dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan tujuannya“. (Muttafaq ‘alaih). Dari hadits ini diambil sebuah kaidah umum: “Al umuur bimaqashidiha” artinya urusan itu dihukumi sesuai dengan maksud tujuannya, dan hadits ini masuk dalam bab yang sangat banyak dari bab-bab fiqih; dalam jual beli, pernikahan, ibadah, pahala, dosa dan siksa dan lain-lain dan telah dijelaskan sebagiannya oleh penulis sendiri dalam buku “Pengaruh niat dalam kehidupan”. Diantaranya juga hadits: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ “Tidak boleh memberikan mudlarat dan tidak boleh membalas mudlarat dengan mudlarat”. (HR Ibnu Majah). Hadits ini merupakan kaidah umum dalam masalah kemudlaratan, dimana setiap yang mudlaratnya murni atau lebih besar mudlaratnya diharamkan dalam syari’at islam seperti rokok, semua dokter baik yang kafir maupun muslim bersepakat bahwa rokok adalah berbahaya, buktinya baca saja oleh anda kotaknya terdapat tulisan bahaya-bahaya rokok yang sangat jelas, bahkan sampai hari ini belum ada kesaksian dari seorang dokterpun yang menyatakan bahwa manfaat rokok lebih besar dari mudlaratnya. Hadits ini juga menunjukkan haramnya membalas maksiat dengan maksiat, bid’ah dengan bid’ah, contohnya adalah di malam tahun baru masehi banyak kaum muslimin ikut turun ke jalan meramaikan acara menyambut tahun baru dengan meniup terompet dan bercampur baur antara wanita dan laki-laki, dan ini jelas kemaksiatan dan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir. Namun di lain pihak sebagian kaum muslimin di malam itu mengadakan do’a dan dzikir bersama dengan satu suara dengan alasan menandingi perbuatan mereka yang maksiat, inilah fenomena menolak maksiat dengan bid’ah. Diantaranya juga hadits : إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ “Apabila salah seorang dari kamu merasa ragu dalam shalatnya; apakah ia shalat tiga raka’at atau empat maka hendaklah ia membuang yang ragu dan mengambil yang yakin kemudian sujud dua kali sebelum salam”. (HR Muslim). Hadits ini dijadikan kaidah umum yang berbunyi “Al Yaqin la yazulu bisyakk”. Artinya sesuatu yang yakin tidak boleh dikalahkan oleh keraguan, contoh praktek hadits ini diantaranya adalah apabila kita yakin jam 11 siang sudah berwudlu kemudian setelah masuk waktu dzuhur terjadi keraguan; apakah batal wudlunya atau belum, dalam keadaan ini yang yakin adalah wudlunya dan yang masih diragukan adalah batal atau tidaknya, maka ambil yang yakin dan buang keraguan artinya kita tidak usah berwudlu lagi. Diantaranya adalah hadits: صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ “Shalatlah dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu maka dengan berbaring di atas rusuk”. (HR Bukhari). Hadits ini dijadikan kaidah umum yaitu bahwa kesulitan mendatangkan kemudahan, kesulitan yang dimaksud adalah kesulitan diluar batas kemampuan manusia, maka keadaan sulit mendatangkan kemudahan, seperti bila tidak ada air diperbolehkan tayamum, bila darurat membolehkan yang terlarang dan lain sebagainya. Diantaranya juga hadits: لَوْلَا حَدَاثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ وَلَجَعَلْتُهَا عَلَى أَسَاسِ إِبْرَاهِيمَ “Kalaulah bukan karena kaummu baru masuk islam, aku akan memugar ka’bah dan menjadikannya sesuai dengan bangunan Ibrahim”. (HR Bukhari dan Muslim). Hadits ini dijadikan kaidah “menghindari mafsadah lebih didahulukan dari mendatangkan mashlahat” dan ini disyaratkan bila mafsadahnya lebih besar dari mudlarat. Contoh prakteknya adalah tidak boleh belajar kepada orang yang pemikirannya sesat karena mudlarat kesesatannya lebih besar dari ilmu yang ditimba darinya. Dan hadits-hadits lainnya yang amat penting kita pelajari, diantara buku yang mengumpulkan hadits-hadits seperti ini adalah arba’in nawawiyah yang ditulis oleh imam Nawawi dan telah disyarah oleh Al Hafidz ibnu rajab dalam bukunya Jami’ ulum wal hikam 1. Menghukumi Sanad Secara Zhahir Ada 5 hal • Pertama : Membedakan seorang perawi dengan perawi lainnya. Untuk mengetahui seorang perawi ada beberapa jalan, diantaranya : a. Murid perawi tersebut yang menjelaskannya yang tidaklah terancukan (karena keserupaan) dengan perawi lainnya, seperti Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain yang berkata : Menceritakan kepada kami Sufyan bin ’Uyainah,.... b.Dari jalan riwayat murid-murid seorang perawi dan guru-gurunya di dalam sanad yang dapat diketahui secara galibnya. c.Seorang perawi yang diketahui dengan mulazamah (menekuni) gurunya, maka apabila perawi itu memubhamkan (menyamarkan sebagian identitas) gurunya, dapat diketahui bahwa ia adalah guru perawi yang terbedakan (dengan lainnya), dan apabila tidak maka ia adalah orang lain. Misalnya, Abu Nu’aim apabila meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri tidaklah menasabkannya (kepada ats-Tsauri,pent) namun apabila meriwayatkan dari Sufyan bin Uyainah, beliau menyebutkannya. Contoh berikutnya, Sulaiman bin Harb, apabila meriwayatkan dari Hammad bin Zaid tidak menasabkannya, namun apabila meriwayatkan dari Hammad bin Salamah beliau menasabkannya. d.Dari jalan thobaqot seorang perawi dan thobaqot guru-guru dan murid-muridnya. e.Adanya seorang imam mu’tabar (terkenal) yang menegaskan bahwa perawi ini adalah Fulan, dari segi tidak ada orang lain yang serupa dengannya. Contohnya : apabila didapatkan di dalam isnad Abu Dawud –misalnya- ada perawi yang mirip dengan selainnya, imam ini akan menunjukkan bahwa perawi yang mirip dengannya tidaklah dikeluarkan oleh Abu Dawud. f Merujuk kepada kitab-kitab al-Muttafaq wal Muftariq, kitab-kitab al-Mu’talaf wal Mukhtalaf dan kitab-kitab al-Musytabih. g.Apabila perawi itu adalah seorang sahabat atau diduga sebagai seorang sahabat, maka merujuk kepada kitab-kitab Shahabah dan kitab-kitab al-Maroosil. h.Apabila perawi tersebut berkunyah maka merujuk kepada kitab-kitab al-Kuna dan apabila berlaqob maka merujuk kepada kitab-kitab al-Alqoob. i.Apabila tidak memungkinkan untuk membedakan seorang perawi dengan selainnya, maka apabila para perawi ini –atau dua perawi yang serupa- adalah perawi tsiqootmaka sanadnya shahih dengan mempertimbangkan syarat-syarat lainnya di dalam penshahihan hadits dan apabila perawi ini dho’if maka sanadnya juga dha’if. Namun apabila sebagian perawi ini dha’if (dan sebagiannya tsiqot, pent) maka bertawaqquf(mendiamkan) di dalam penshahihan sanad sampai diteliti apakah riwayat ini memiliki mutabi’ (penyerta) atau Syaahid? Akan datang perinciannya di dalam Cara Kedua –insya Allohu Ta’ala-. • Kedua : Mengetahui keadilan (’adalah) seorang perawi : yang demikian ini bisa dengan kemasyhuran perawi atas sifat ’adalah-nya atau bisa juga dengan penegasan seorang imam ”mu’tabar” atas sifat ’adalah-nya, dan yang demikian ini dengan syarat seorang perawi tidak memiliki sesuatupun yang dapat menghilangkan sifat ’adalah-nya. Apabila seorang perawi tidak masyhur akan keadilannya dan tidak satupun dari ulama mu’tabar mentsiqohkannya, maka ada beberapa keadaan : a.Sejumlah perawi tsiqot meriwayatkan darinya dan tidak ada riwayat yang datang darinya diingkari maka ia tsiqoh, dan hal ini semakin diperkuat apabila ia termasukthobaqot tabi’in senior atau pertengahan. b.Riwayat al-Bukhari dan Muslim pada seorang perawi (otomatis) adalah ta’dil atasnya. c.Terangkatnya status majhul ’ain-nya dengan riwayat seorang tsiqoh atau dua orang perawi darinya. d.Apabila seorang majhul meriwayatkan hadits yang maudhu’ (palsu) atau munkar dan tidaklah ditemukan di dalam sanadnya adanya penyerta yang mengkonfrontasikannya, maka perawi ini dituduh al-Majhul biuhdatihi (tidak diketahui status kelemahannya). [Lihat Miizanul I’tidaal (II/103), (III/91) dan (IV/21). e.Apabila seorang imam –diketahui bahwa imam ini tidaklah meriwayatkan melainkah hanya dari tsiqoh- meriwayatkan dari seorang perawi, maka ini merupakan tautsiq(pentsiqohan)-nya terhadap perawi itu dan penghukuman akan ke-’adalah-annya menurut imam tersebut. f.Penshahihan seorang imam mu’tabar terhadap suatu sanad hadits dihitung sebagai pentsiqohan terhadap seluruh perawinya. • Ketiga : Mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi. Untuk mengetahui sifat dhabit seorang perawi ada dua cara, yaitu : o Cara Pertama : Adanya tautsiq para imam terhadap seorang perawi. o Cara kedua : Menelusuri riwayatnya dan menelitinya, lalu membandingkannya dengan riwayat para tsiqot huffazh. Apabila yang dominan adalah istiqomah (kesesuaian) danmuwafaqoh (keselarasan) maka perawi tersebut adalah tsiqoh dan apabila yang dominan adalah mukholafah (penyelisihan) dan munkaraat maka perawi tersebut adalah dha’if danmatruk (ditinggalkan). Namun apabila didapatkan bahwa riwayatnya ada yang mukholafahnamun yang dominan adalah keselarasannya, maka ia adalah perawi yang shoduq danhusnul hadits (haditsnya hasan). Di sini ada 9 hal di dalam menghukumi seorang perawi, yaitu : 1.Mengumpulkan pendapat-pendapat ulama yang membicarakan perawi tersebut. 2.Menguatkan (Ta’akkud) keshahihan penisbatannya kepada mereka. 3.Mengetahui imam hadits yang dipandang pendapatnya (mu’tamad) dan yang tidak dipandang. 4.Mengetahui imam yang berbicara tentang seorang perawi, apakah ia seorang murid perawi, ataukah sesama penduduk negeri yang sama, atau seorang yang hidup semasanya (sahabat) ataukah orang yang belakangan darinya. 5.Mengetahui derajat imam (yang membicarakan perawi), apakah termasuk mu’tadil(pertengahan di dalam menilai perawi), mutasaahil (terlalu lunak di dalam menilai perawi) atau mutasyaddid (terlalu ketat di dalam menilai perawi). 6.Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil apabila ada. 7.Perincian jarh atau naqdh-nya (bantahan yang menggugurkan penilaian) seorangmu’addil (ulama yang menta’dil). 8.Mengetahui maksud-maksud para imam dari lafazh-lafazh, ungkapan-ungkapan danharokaat mereka yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil. 9.Menjama’ (mengkompromikan) dan mentarjih (menguatkan salah satunya) apabila pendapat para imam saling kontradiksi di dalam menilai seorang perawi (Kesimpulan pendapat terhadap perawi). • Keempat : Mengetahui hubungan seorang perawi dengan syaikhnya, hal ini memiliki beberapa gambaran : a. Apabila syaikhnya termasuk perawi yang mukhtalith (tercampur-baur hafalannya) atautaghoyar (berubah) dengan perubahan yang mempengaruhi riwayatnya, maka dilihat apakah perawi tersebut mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya ataukah setelahnya? Apabila perawi ini mendengar darinya sebelum ikhtilath atau taghoyar-nya, dan syaikh ini asalnya maqbul (diterima) riwayatnya maka diterima riwayatnya. Apabila perawi ini mendengar darinya setelah ikhtilath atau taghoyar-nya maka ditolak riwayatkan dan dihukumi sanadnya dha’if. Apabila tidak diketahui apakah mendengarnya perawi dari syaikhnya ini sebelumikhtilath ataukah setelahnya, atau mendengar darinya sebelum ikhtilath dan setelahnya dan tidaklah dapat dibedakan sima’ (mendengar)-nya dari syaikhnya, maka ditolak riwayatnya dan dihukumi sanadnya dha’if. Contohnya : ’Atho` bin as-Saa`ib perawi yang tsiqoh namun mukhtalith, meriwayatkan darinya Syu’bah, Sufyan ats-Tsauri dan Hammad bin Zaid sebelumikhtilath-nya, dan meriwayatkan darinya Jarir, Khalid bin ‘Abdillah dan Ibnu ‘Aliyah setelah ikhtilath-nya, serta meriwayatkan darinya Hammad bin Salamah sebelum dan setelah ikhtilath-nya. b.Mengetahui perihal perawi beserta syaikhnya, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) gurunya ataukah tidak? Apabila ia dha’if maka sanadnya otomatis dha’if, seperti riwayat Sufyan bin Husain al-Wasithi dari az-Zuhri. c.Mengetahui perihal perawi terhadap suatu penduduk negeri, apakah dia dha’if di dalam (periwayatan) mereka ataukah tidak? Apabila ia dha’if di dalam periwayatan mereka sedangkan dia meriwayatkan dari mereka maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat Isma’il bin ‘Iyasy dari penduduk Hijaz, maka riwayatnya dha’if. d.Mengetahui periwayatan perawi terhadap suatu penduduk negeri apabila mereka mengambil periwayatan darinya, apakah mereka (penduduk negeri) adalah dhu’afa` di dalam (periwayatan) darinya ataukah tidak? Apabila mereka (penduduk suatu negeri) lemah di dalam (periwayatan) darinya sedangkan mereka meriwayatkan darinya maka sanadnya dha’if, sebagaimana riwayat penduduk Syam dari Zuhair bin Muhammad al-Khurosani, maka riwayatnya dha’if. • Kelima : Mengetahui ittishol (bersambungnya) sanad dari inqitho’ (keterputusan)-nya, dalam hal ini ada 7 keadaan : 1. Apabila rijaal (para perawi) sanad adalah tsiqoot dan mereka menegaskan secara tegas akan sima’ (mendengar)-nya, atau dengan yang dihukumi dengannya maka sanadnya muttashil (bersambung). 2.Apabila sanadnya dengan ‘an’anah atau semisalnya, maka diperiksa apakah perawi itu sezaman dengan syaikhnya ataukah tidak, apabila tidak sezaman dengan syaikhnya maka sanadnya munqothi’ (terputus). 3.Apabila seorang perawi sezaman dengan syaikhnya maka diperiksa, apakah ia bertemu dengannya ataukah tidak diketahui pernah bertemu? Apabila ia tidak bertemu syaikhnya maka sanadnya munqothi’. Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sezaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits). 4.Apabila seorang perawi bertemu dengan syaikhnya, maka diperiksa apakah ia mendengar darinya ataukah tidak mendengar ataukah tidak diketahui akan sima’(mendengarnya)? Apabila perawi itu belum pernah mendengar dari gurunya maka sanadnya munqothi’. Apabila tidak diketahui maka hukum asalnya adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan mendengar. 5.Apabila seorang perawi mendengar dari gurunya, maka diperiksa apakah perawi itu termasuk mudallis ataukah tidak? Apabila bukan seorang mudallis maka sanadnyamuttashil. 6.Apabila perawi itu adalah mudallis dan meriwayatkan dengan ‘an’anah atau semisalnya dari syaikh yang ia mendengar darinya atau yang dihukumi perawi itu mendengar darinya, (diperiksa) : Apabila perawi itu jarang melakukan tadlis seperti Abu Qilabah ‘Abdullah bin Zaid al-Jarmi atau tidak banyak (sedikit) melakukan tadlis seperti Qotadah, A’masy dan Abu Ishaq al-Subai’i maka dihukumi sanadnya muttashil selama tidak jelas adanya khilaf(pendapat yang menyelisihi)-nya. Apabila perawi itu termasuk yang sering melakukan tadlis seperti Ibnu Juraij terhadap periwayatan selain ‘Atho`, atau seperti Baqiyah bin Walid, maka bertawaqquf(mendiamkan) atas status ittishal-nya sanad dan dihukumi dengan dha’if sampai menjadi jelas keadaan sanad dengan adanya jalan-jalan riwayat lainnya. 7.Apabila perawi sezaman dengan syaikhnya dan memungkinkan bertemu dan mendengar darinya namun tidak diketahui ia mendengar darinya, dan ia mayshur (terkenal) dengan melakukan irsal maka sanadnya dihukumi dengan munqothi’. Namun apabila ia tidak masyhur melakukan irsal maka sanadnya muttashil lagi shahih selama tidak datang indikasi yang menjelaskan ketiadaan mendengarnya. 2. Menghukumi Sanad secara bathin • Pertama : Cara pertama diaplikasikan terhadap sanad hadits yang dikehendaki penghukuman atasnya secara cermat. • Kedua : Dihimpun jalan-jalan hadits yang satu dari Mazhoonni (sumber perkiraan)-nya. 1.Dari sahabat itu sendiri, akan diketahui al-Mutaba’ah dan al-Mukholafah, diketahui yang syadz dan illat. 2.Dari sahabat yang meriwayatkan hadits itu sendiri –apabila ada pada mereka atau salah seorangnya- maka termasuk syawahid, dan dapat dihubungkan dengannya hadits-hadits mursal, mu’dhol, mauquf dan maqthu’ yang dihukumi marfu’ atasnya. Untuk hadits yang dapat menjadi shalih karena syawahid memiliki syarat, yang penting diantaranya adalah : hendaknya hadits itu tidak terlalu dha’if (syadid), tidaksyadz dan tidak munkar.. • Ketiga : Menghimpun pendapat-pendapat para imam ahli hadits dan illat hadits seperti Imam Ahmad, Ibnul Madini, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu Dawud, al-Bukhari, at-Turmudzi, an-Nasa`i, ad-Daaruquthni, al-Khothib al-Baghdadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Rojab, al-Hafizh al-Iroqi, Ibnu Hajar, Ibnu Mulaqqin, Ahmad Syakir, al-Albani, dan selain mereka terhadap thuruq (metode-metode) yang dihimpun hingga menjadi mudah bagi anda untuk memahami metode para imam ahli hadits di dalamnaqd (mengkritik hadits) dan kaifiyat (cara) di dalam menghukumi sanad-sanad hadits, dan hingga anda dapat memetik faidah dari pendapat-pendapat mereka mengenai masalah yang sulit atas anda, dan juga supaya anda dapat mengetahui kapasitas kelemahan diri anda di hadapan para imam yang ahli lagi mendalam ilmunya. • Keempat : Ini merupakan cara kedua yang global dan memerlukan tafshil (perincian) dantahrir (penegasan istilah), mudah-mudahan masalah ini dapat dibahas dalam waktu dekat –insya Alloh Ta’ala-. • Kelima : Ketahuilah, bahwa menghukumi suatu hadits adalah perkara yang paling sulit dan rumit, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali hanya ulama ahli hadits senior. Maka berhati-hatilah di dalam penghukuman hadits dan janganlah tergesa-gesa. Jadikanlah apa yang saya tulis ini adalah suatu pelatihan dan pembelajaran saja bagi anda sampai anda menjadi mantap di dalam ilmu hadits. BAB III PENUTUP  KESIMPULAN Asbab wurud al-hadis adalah kasus yang dibicarakan oleh suatu hadis pada waktu kasus tersebut terjadi. Kedudukan ilmu ini bagi hadis sama dengan posisi asbab al-nujul bagi al-Qur’an al-karim. Ilmu ini merupakan suatu jalan yang paling tepat untuk memahami hadis, karena mengetahui sesuatu sebab akan melahirkan pengetahuan tentang mussabbab ilmu asbab al-wurud adalah ilmu yang menjelaskan sebab-sebab keluarnya Hadits, baik berupa peristiwa atau keadaan yang terjadi, waktu maupun karena ada pertanyaan. Sehingga dapat memahami kejelasan hadits baik dari segi umum dan khusus, mutlaq ataumuqayyad, atau untuk menentukan ada tidaknya naskh (penghapusan) dalam suatu hadits Sebagai salah satu disiplin ilmu dalam studi hadis, asbabul wurud mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam rangka memahami maksud suatu hadis secara lebih baik. Pemahaman yang mengabaikan asbabul wurud, cenderung dapat terjebak kepada arti tekstual saja dan bahkan dapat membawa pemahaman yang keliru. Apabila suatu sanad selamat dari keseluruhan ‘ilal (cacat/penyakit) yang zhahir (tampak), telah tsabat (tetap) akan sifat ’adalah dan dhabit para perawinya, dan shahih akansima’ (mendengar)-nya perawi antara satu dengan lainnya, maka sanadnya shahih secarazhahir. Apabila didapatkan sebuah ’illah (cacat) dari cacat-cacat zhahir (di atas) maka sanadnya ditolak tidak diterima. Apabila kedha’ifan di dalam sanad lebih dekat dan memiliki kemungkinan (shahih) maka akan menjadi sholih (baik) dengan mutaba’at (penyerta) dan syawahid.  DAFTAR FUSTAKA • Fathur. “ asbabul wurud “..http://fathur10.wordpress.com/2010/04/27 • Hady. “ asbab al wurud “.http://hady412.wordpress.com/2011/03/20 • Kangmuz.”asbabul wurud dalam memahami suatu hadist”.http://kangmuz.wordpress.com/2011/07/29 • Tp.” ilmu asbabul wurud “. http://software-pesantren.blogspot.com • Zein,Muhammad Ma’shum.2007.ulumul hadis dan musthala’ah hadis.jakarta:sinar abadi. • Khatib,Muhammad ajaj.2007.ushul al hadis.jakarta:gaya gramedia pratama • Iskandar sofwan.2011.ilmu haits.Depok: jln. Repvolusi No 29 Vila pertiwi. • Rahman father drs.1970 .ikhtisar mushthalahul hadits.yokyakarta:pt alma’arif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar